I.
PENDAHULUAN
Upaya
untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia telah lama dilakukan. Dalam
setiap GBHN, Rencana Pembangunan Nasional Lima Tahunan dan Rencana Strategis
Pendidikan Nasional selalu tercantum bahwa peningkatan mutu merupakan salah
satu prioritas pembangunan di bidang pendidikan. Berbagai inovasi dan program
pendidikan juga telah dilaksanakan, antara lain penyempurnaan kurikulum,
pengadaan buku ajar dan buku referensi lainnya, peningkatan mutu guru dan
tenaga kependidikan lainnya melalui berbagai pelatihan dan peningkatan
kualifikasi pendidikan mereka, peningkatan manajemen pendidikan serta pengadaan
fasilitas pendidikan lainnya.
Sementara
itu berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan masih belum meningkat
secara signifikan. Dari dalam negeri diketahui bahwa nilai ujian akhir SD dan
Sekolah Menengah rata-rata relatif rendah dan tidak mengalami peningkatan yang
berarti. Dari dunia usaha juga muncul keluhan bahwa bahwa lulusan yang memasuki
dunia kerja belum memiliki kesiapan kerja yang cukup. Ketidakpuasan berjenjang
juga terjadi, kalangan SMP merasa bekal lulusan SD kurang memadai untuk
memasuki SMP. Kalangan Sekolah Menengah merasakan bahwa lulusan SMP tidak siap
mengikuti pembelajaran di Sekolah Menengah, dan kalangan perguruan tinggi
merasa bekal lulusan Sekolah Menengah belum cukup untuk mengikuti perkuliahan.
Salah
satu faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan adalah kualitas guru. Kompetensi
guru bahkan merupakan faktor dominan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar
(PBM) yang efektif, disamping faktor motivasi siswa dan sarana pembelajaran.
Kompetensi guru meliputi : (1) Penguasaan Akademik ; (2)
Pengelolaan Pembelajaran; dan (3) Pengembangan Profesi (Ditendik, 2003).
Sehubungan
dengan tuntutan kompetensi guru, maka setiap guru harus mampu mengembangkan
berbagai metode pembelajaran berikut merancang model-model pembelajaran yang
sesuai dengan kondisi kelas dan potensi siswa, agar proses pembelajaran
berlangsung efektif. Seperti yang diamanatkan Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (2003), pasal 40 ayat (2) : Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban
: menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis
dan dialogis.
1.
Pendekatan Kontekstual
Ada
kecenderungan dewasa ini untuk mengembangkan model-model pembelajaran yang
berlandaskan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan
diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika
anak
‘ mengalami ‘ apa yang dipelajarinya, bukan sekedar ‘ mengetahui ‘-nya.
Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam
kompetisi ‘ mengingat ‘ jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak
memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan itulah, yang terjadi
di kelas-kelas sekolah kita.
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL)
merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang telah dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sehari-hari. CTL diharapkan menjadikan hasil pembelajaran lebih bermakna
bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa
‘bekerja’ dan ‘mengalami‘, bukan merupakan transfer pengetahuan guru kepada
siswa. Sebagaimana yang dirumuskan oleh UNESCO tentang ‘Empat Pilar
Pendidikan’ (The Four Pilars of Education), dua pilar diantaranya sebagai
berikut : (1) Belajar mengetahui (Learning to know); (2) Belajar
melakukan (Learning to do)
Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti ‘apa makna belajar’, ‘apa manfaatnya’
dan ‘bagaimana mencapainya’. Dengan begitu siswa akan sadar bahwa apa yang
mereka pelajari akan berguna dalam hidupnya kelak. Sehingga mereka termotivasi
untuk mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya untuk
menggapainya. Dalam hal ini, guru berperan sebagai pengarah, pembimbing atau
sebagai fasilitator . Tugas guru sebagai fasilitator adalah membantu
siswa untuk mencapai tujuan belajarnya. Maksudnya, guru lebih banyak
berurusan dengan strategi mengajar dari pada memberi informasi. Lebih jelasnya,
tugas guru adalah mengelola kelas sebagai suatu tim yang bekerja bersama untuk
menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Pengetahuan dan
keterampilan diperoleh dengan cara ‘ menemukan sendiri ‘, bukan dari ‘ apa kata
guru ‘.
2. Iklim
Kelas (Classroom Climate) dan Komunitas Belajar (Learning Commu-nity)
Dalam proses sekolah, yang penting bukan ‘apa’ materi yang diajarkan ataupun
siapa yang mengajarkan, melainkan bagaimana materi tersebut diajarkan.
Bagaimana guru mengajarkan materi tersebut menimbulkan apa yang disebut iklim
kelas (classroom climate) dan komunitas belajar (learning community)
Iklim kelas yang terbuka dan menyenangkan sangat kondusif untuk
mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi, sebab dalam iklim semacam itu suasana
kelas akan bersifat demokratis sehingga proses pembelajaran akan dinamis
(Zamroni, 2003)
Sedangkan iklim kelas yang dinamis dan terbuka menciptakan komunitas belajar
yang produktif. Kebersamaan anggota kelas dalam mencapai tujuan pembelajaran
dapat meningkatkan efektifitas proses belajar mengajar (Nasution, 2000)
Persoalannya adalah, bagaimana guru merancang pengelolaan kelas dan memilih
strategi yang tepat dalam proses pembelajaran, agar iklim kelas dan komunitas
belajar dapat tercipta pada saat guru menyajikan suatu topik materi
pembelajaran. Juga perlu dipertimbangkan karakteristik, kondisi kelas yang
dihadapi termasuk potensi anggota kelas (siswa) yang tentu beragam.
Perbedaan potensi siswa, dapat diatasi dengan alternatif model-model
pembelajaran, metode dan pendekatan pembelajaran yang menyenangkan. Banyak
konsep dan beberapa model pembelajaran yang revolusioner dalam rangka menjajagi
pertanyaan : “ Learning how to learn ?” yang berpijak pada kondisi psikologis
dan karakter otak siswa (manusia).
Pembahasan tentang pengembangan metodologi pembelajaran yang bermakna,
menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis dengan pendekatan Quantum Teaching
berbasis kompetensi terkait dengan teori-teori belajar, misalnya Belajar
Bermakna (Ausuble) dan Konstruktivisme (Piaget). Quantum Teaching (QT) sebagai
metode dalam proses pembelajaran sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut,
karena metode ini memiliki kelebihan-kelebihan dibanding metode pembelajaran
yang telah dikenal sebelumnya. Kelebihan QT antara lain, cocok untuk semua mata
pelajaran, dapat diterapkan kepada pembelajar dari usia 9 sampai 24 tahun, juga
dapat meningkatkan daya serap siswa secara dramatis asal suasana kelas yang ada
telah dikondisikan seperti yang disarankan.
Quantum
Teaching dirancang untuk membantu guru dalam melaksanakan proses pembelajaran
berdasarkan prinsip-prinsip Belajar Menyenangkan (Quantum Learning).
Untuk mengiringi QT dan penerapannya di kelas, disarankan pula menggunakan
model-model pembelajaran Cooperative Learning (misalnya type STAD, TGT
dan Jigsaw) agar kompetensi yang dicapai siswa optimal, kreatifitas siswa
meningkat, suasana belajar demokratis dan dinamis. Namun demikian masih banyak
cara dan bentuk pembelajaran menyenangkan dalam rangka percepatan belajar (Accelerated
Learning) bagi para siswa.
II.BELAJAR
BERMAKNA DAN SISTEM PEMROSESAN INFORMASI
1. Belajar Bermakna
Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi seperti
yang ditampilkan bagan di bawah ini :
Dimensi pertama berhubungan dengan
cara informasi atau materi pelajaran disajikan kepada siswa melalui penerimaan
atau penemuan. Dimensi ke dua, menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan
informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif yaitu
fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-generelisasi yang telah dipelajari
dan diingat oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat di komunikasi kan pada
siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi dalam
bentuk final, maupun dengan bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa
untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan.
Pada tingkat ke dua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada
pengetahuan (berupa konsep-konsep atau lainnya) yang telah dimilikinya. Dalam
hal ini siswa telah mengalami belajar bermakna. Namun, siswa juga dapat
hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan pada
konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya. Dalam hal ini, siswa belajar
hafalan.
Penerapan belajar bermakna yang sederhana oleh siswa dapat dilakukan dengan
menggambarkan atau menyusun peta pikiran (mind mapping) setelah mereka
mengikuti proses pembelajaran sebagai penguatan (reinforcement) atau
review.
2. Teori
Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofis) pendekatan
konsep dalam pembelajaran, bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit, yang hasilnya diperoleh melalui konteks yang terbatas (sempit) dan
tidak datang sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep
atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, melainkan manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Konstruktivisme
juga sangat cocok sebagai landasan filosofis pendekatan kontekstual (CTL)
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu
yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu
memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa sendiri yang harus
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Esensi dari teori
konstruksivisme adalah ide, bahwa siswa harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki,
informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses
‘mengkonstruksi’ bukan ‘menerima’ pengetahuan. Dalam proses pembelajaran,
siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam
proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan
kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Menurut
pandangan konstruktivis, ‘strategi memperoleh’ lebih diutamakan bukan ‘seberapa
banyak siswa memperoleh dan mengingat’ pengetahuan. Dalam hal ini, tugas
guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan :
- menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa
- memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan sendiri idenya, dan
- menyadarkan siswa agar dapat menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar
Pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pemahaman
berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan
pe-ngalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam
otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing kotak berisi informasi yang
bermakna berbeda-beda. Pengalaman sama bagi beberapa orang akan dimaknai
berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda.
Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur kognitif) dalam
otak manusia tersebut.
Struktur kognisi dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara,
yaitu asimilasi atau akomodasi. Asimilasi, maksudnya struktur
kognisi yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan
hadirnya pe-ngalaman baru. Untuk lebih jelasnya, lihat Gambar 2
Lalu, , bagaimanakah penerapannya di kelas ?
Bagaimanakah cara merealisasikannya pada kelas-kelas di sekolah
kita ?
Pada umumnya, guru sudah menerapkan filosofi ini dalam
pembelajaran sehari-hari, yaitu pada waktu guru merancang pembelajaran dalam
bentuk siswa bekerja, siswa praktik mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik,
menulis karangan, mendemonstrasikan, menciptakan ide dan sebagainya. Oleh sebab
itu, mari kita kembangkan cara-cara tersebut lebih banyak lagi.
2. Sistem Pemrosesan Informasi
Model pemrosesan informasi yang dikemukakan oleh para
ahli psikologi kognitif menggambarkan proses mental sebagai transformasi
informasi dari stimulus (input) ke respons (output), seperti yang
diperlihatkan gambar 3 berikut ini:
Reseptor
menerima sinyal-sinyal dari lingkungan (suara, gambar, sentuhan, dll). Kemudian
reseptor mengirimkan sinyal dalam bentuk impuls-impuls elektrokimia ke
otak. Impuls-impuls saraf dari reseptor diteruskan ke registor penginderaan di
dalam sistem saraf pusat dan disimpan selama waktu yang sangat singkat. Seluruh
informasi yang masuk sebagian kecil disimpan ke dalam memori jangka pendek,
sedangkan yang lain sebagian besar hilang dari sistem. Proses ini disebut
persepsi selektif. Memori jangka pendek dapat disamakan dengan kesadaran.
Contoh ketika kita mencari nomor telepon, setelah menemukan kemudian menekan
angka pesawat telepon. Kapasitas memori jangka pendek terbatas, sehingga
implikasinya penting sekali bagi pengajaran atau instruksi pada umumnya. Memori
jangka pendek disebut juga memori kerja.
Informasi
dalam memori kerja kemudian dikode (coding), selanjutnya disimpan ke
dalam memori jangka panjang. Pengkodean (coding) merupakan suatu proses
transformasi informasi baru yang diintegrasikan pada informasi lama dengan
berbagai cara. Memori jangka panjang menyimpan informasi yang akan digunakan di
kemudian hari.
Informasi
yang disimpan di memori jangka panjang, bila akan digunakan harus dipanggil
melalui generator respons. Dalam pikiran sadar, informasi mengalir dari memori
jangka panjang ke memori jangka pendek, kemudian ke generator respons. Tetapi
untuk respons otomatis, informasi dari memori jangka panjang mengalir langsung
ke genator respons selama pemanggilan.
Generator
respons mengatur urutan respons dan memicu efektor-efektor berupa saraf-saraf
motorik. Aliran informasi dalam sistem manusia diatur oleh harapan dan kontrol
eksekutif (norma, hukum, nilai, etika, dll.).
Setelah
kita memahami sistem pemrosesan informasi, diharapkan guru menyadari dan
mengupayakan bagaimana cara menyajikan informasi agar dapat disimpan ke dalam
memori jangka panjang siswa semudah mungkin.
III.
METODE PEMBELAJARAN QUANTUM
TEACHING
Quantum Teaching (QT) pertama kali diterapkan di SuperCamp, yaitu sebuah
program percepatan Quantum Learning oleh Learning Forum pimpinan Bobbi DePorter
sang penemu QT. Learning Forum adalah suatu perusahaan pendidikan internasional
yang menekankan kecakapan akademis dan kecakapan pribadi.
Hasil survei J.V. Groenendal (1991) terhadap 6.042 orang alumni program
SuperCamp berusia 12 – 22 tahun menyatakan bahwa : SuperCamp mampu :
·
68 % meningkatkan motivasi
·
73 % meningkatkan nilai belajar
·
83 % meningkatkan rasa percaya diri
·
94 % meningkatkan harga diri
·
98 % melanjutkan penggunaan keterampilan.
Di
dalam program SuperCamp, peserta memperoleh kiat-kiat untuk mencatat,
menghafal, membaca cepat, menulis, berkreasi,, berkomunikasi dan membina
hubungan.
Metode
dan model pembelajaran QT mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1999 setelah
sebelumnya dikenal tentang Quantum Learning.
Apakah
Quantum Teaching itu ?
QT adalah suatu metode pembelajaran yang memadukan unsur seni dan pencapaian
tujuan yang terarah. QT berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas
dan interaksi yang membangun landasan dan kerangka untuk belajar bagi siswa. Quantum
artinya interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Jadi Quantum Teaching
dapat diartikan perpaduan bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di
sekitar momen belajar siswa. Interaksi-interaksi ini mencakup unsur-unsur untuk
belajar efektif. Interaksi-interaksi ini mengubah kemampuan dan bakat alamiah
siswa menjadi ‘ cahaya ’ yang akan bermanfaat bagi diri siswa dan bagi orang
lain. QT adalah suatu metode percepatan belajar, karena metode ini mampu
menyingkirkan hambatan yang menghalangi proses belajar alamiah siswa dengan
menggunakan musik, mendisain lingkungan, men-
disain
bahan pengajaran yang sesuai, cara menyajikan yang efektif dan mendisain
siswa
terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
QT
mencakup petunjuk spesifik untuk menciptakan lingkungan belajar yang efektif,
merancang kurikulum, menyampaikan isi dan memudahkan proses belajar.
Dengan
kata lain QT memfasilitasi proses belajar siswa yang ‘ mudah ‘ dan‘
menyenangkan ‘ (Quantum Learning) dan alamiah.
1. Azas
Utama QT
QT berpijak pada prinsip : Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, dan antarkan
Dunia Kita ke Dunia Mereka. Strategi, model dan segala hal yang berkaitan
dengan QT- setiap interaksi dengan siswa, setiap rancangan kurikulum dan setiap
metode interaksional dibangun di atas prinsip : Bawalah Dunia Mereka ke
Dunia Kita, dan antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka.
Perhatikan
gambar 4 berikut ini:
Maksudnya,
kita memasuki dunia mereka (siswa). Setelah kita memasuki dunia mereka, kita
akan mudah me-mimpin, menuntun dan memudahkan perjalanan mereka menuju
kesadaran dan ilmu pengetahuan yang lebih luas. Caranya, dengan mengaitkan apa
yang guru ajarkan dengan sebuah peristiwa, pikiran atau perasaan yang diperoleh
dari kehidupan di rumah, sosial, olah raga, musik, seni, rekreasi atau akademik
mereka (siswa). Setelah kaitan itu terbentuk, barulah dunia mereka dibawa ke
dunia kita, dan memberi mereka pemahaman kita tentang isi dunia. Pada fase ini
mulai dikenal kosa-kosa kata baru (istilah) , model mental, rumus dan
lain-lain. Setelah menjelajahi kaitan dan berinteraksi, baik siswa maupun guru
mendapatkan pemahaman baru dan ‘ Dunia Kita ‘ dapat diperluas mencakup tidak
hanya para siswa, tetapi juga guru. Akhirnya, dengan pengertian yang lebih luas
dan penguasaan lebih mendalam ini, siswa dapat membawa apa yang mereka pelajari
ke dalam dunia mereka dan menerapkannya pada situasi baru. Dengan demikian
pembelajaran berlangsung dinamis.
2. Prinsip
Quantum Teaching,
Dalam menerapkan QT di kelas, guru harus memahami prinsip-prinsip QT sebagai
berikut :
- Segalanya bicara ;
Semua yang
berada di lingkungan kelas, termasuk lembaran-lembaran kertas yang dibagikan
kepada siswa, rancangan pelajaran bahkan bahasa tubuh guru semuanya mengirimkan
pesan tentang belajar.
- Segalanya bertujuan ;
Semua yang
terjadi dalam ‘ orkestra ‘ pengajaran guru pastikan mempunyai tujuan.
- Pengalaman sebelum Memberi Nama ;
Otak siswa
akan berkembang pesat dengan adanya rangsangan kompleks sehingga akan memicu
rasa ingin tahu. Oleh karena itu, proses belajar paling baik terjadi pada saat
siswa telah ‘mengalami’ informasi sebelum siswa memperoleh ‘nama’ untuk apa
yang mereka pelajari
- Akui setiap Usaha ;
Belajar
adalah resiko, maksudnya siswa yang sedang belajar berarti siswa melangkah keluar
dari kenyamanan. Oleh karena itu, pada saat mengambil langkah ini, mereka layak
mendapat ‘ pengakuan ‘ atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka
- Jika layak dipelajari, maka layak untuk Dirayakan ;
Perayaan
merupakan umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif
dengan belajar. Perayaan dapat menguatkan pemahaman (reinforcement)
siswa terhadap apa yang baru dipelajari.
3. Model Quantum Teaching,
Model QT yang dikembangkan di
bagi menjadi dua bagian, yaitu :
(1) Bagian konteks, (2) Bagian isi.
Pada bagian konteks, QT diperlukan
untuk menciptakan :
- Suasana yang memberdayakan ;
Suasana kelas mencakup bahasa
pengantar yang digunakan guru, cara guru menjalin rasa simpati dengan siswa,
sikap guru terhadap sekolah dan belajar. Suasana yang menggembirakan akan
membawa suasana belajar yang menyenangkan.
- Landasan yang kukuh ;
Landasan
merupakan kerangka kerja guru : tujuan, keyakinan, kesepakatan, kebijakan,
prosedur dan aturan bersama yang menjadi pedoman bersama guru dan siswa untuk
bekerjasama di dalam komunitas belajar.
- Lingkungan yang mendukung ;
Lingkungan
adalah cara guru menata (setting) ruang kelas, meliputi pencahayaan,
warna dinding/ ruangan, formasi meja kursi, tanaman hias, jenis musik pilihan
dan semua hal yang mendukung proses belajar.
- Rancangan belajar yang dinamis ;
Merancang
pembelajaran dengan memasukkan unsur-unsur penting yang dapat menumbuhkan minat
belajar siswa, mendalami makna dan memperbaiki proses tukar menukar informasi.
Dalam konteks QT, guru dapat merancang pengajaran yang dikenal dengan akronim
TANDUR(Tumbuhkan,Alami,Namai, Demonstrasikan, Ulangi dan Rayakan)
Jika
keempat aspek konteks tersebut dipenuhi, maka akan tercipta rasa saling
memiliki dan saling menghargai dalam komunitas belajar, sehingga kelas menjadi
tempat komunitas belajar yang menyenangkan. Siswa masuk kelas akan merasa
senang bukan karena terpaksa.
Sedangkan
bagian isi, QT membantu guru meningkatkan keterampilan dalam penyajian materi
pembelajaran, meliputi :
- Penyajian yang prima (transfer expert)
Ada tujuh
pedoman agar penyajian sukses :
- Pahami apa yang anda inginkan, meliputi tujuan kognitif, afektif dan psikomotorik untuk setiap kegiatan
- Binalah jalinan dengan siswa. Tempatkan diri anda sebagai pelayan siswa, sehingga dapat mengenal siswa lebih dekat. Guru harus memahami latar belakang, minat, kegagalan dan kesuksesan yang pernah dialami siswa masa lalu. Hal ini dapat meningkatkan kredibilitas guru di mata siswa, sehingga terbentuk jalinan hati.
- Bacalah mereka (siswa), dengan memperhatikan perilaku, sikap dan informasi lain tentang keadaan siswa sekarang. Guru dapat minta tanggapan siswa tentang pengaruh pelajaran, pemikiran dan dampak yang ditimbulkannya, sehingga guru dapat mengidentifikasi kebutuhan siswa dan menyesuaikan bahan pelajaran.
- Targetkan kondisi siswa, maksudnya guru menargetkan kondisi siswa untuk menyiapkan mereka mencapai sukses belajar. Tetapkan target untuk setiap kegiatan belajar. Upayakan kondisi siswa mencapai kondisi target.
- Capailah modalitas mereka, melalui bahasa, suara, gerak dan jenis kegiatan yang melibatkan modalitas belajar siswa (auditorial, visual dan kinestetik)
- Manfaatkan ruangan, kelas sebagai panggung orkestra pembelajaran di kelas. Manfaatkan berbagai ruang di kelas sebagai tempat penyajian, bercerita, umpanbalik, instruksi awal dan pertemuan
- Bersikaplah ikhlas, maksudnya guru dalam menyampaikan pesan terbuka, jujur dan adil secara tulus dan ikhlas.
- Fasilitasi yang fleksibel (flexible facilitation);
Bagaimana
cara guru mempermudah kesiapan dan kemampuan siswa dalam belajar ?
Seperti yang dibahas pada halaman depan tentang interaksi, QT menempatkan
prioritas tinggi terhadap interaksi dalam lingkungan belajar. Jika interaksi
tidak berjalan seperti yang diharapkan, maka siswa belajar di dalam kelas mengalami
situasi jenuh, berulang kali menatap jam dinding atau arlojinya, seolah-olah
saat itu mereka telah belajar lebih banyak
- Keterampilan belajar
Apa pun
mata pelajarannya, siswa dapat belajar lebih cepat dan efektif, jika mereka
menguasai keterampilan berikut ini:
- Konsentrasi terfokus
- Cara mencatat yang efektif
- Mengorganisasi belajar untuk tes
- Membaca dengan cepat
- Teknik mengingat
Selain
lima keterampilan belajar di atas, guru perlu mengidentifikasi gaya belajar
masing-masing siswa, agar guru dapat membantu siswa memaksi-malkan gaya belajar
mereka masing-masing. Untuk mengidentifikasi gaya belajar siswa, dapat
menggunakan contoh instrumen terlampir. Dalam kenyataannya, setiap siswa
memiliki ketiga gaya belajar tersebut, tetapi hanya satu gaya yang dominan.
Pada bagian akhir, siswa dilatih membuat model “peta pikiran” (mind mapping),
untuk mengkonstruksi pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa seperti contoh
pada gambar 5 di bawah ini
d. Kecakapan hidup (lifeskills)
Melatih
kecakapan hidup kepada siswa, intinya adalah melatih siswa membina dan
memelihara hubungan dengan orang lain di sekolah. Dalam konteks QT, melatih
kecakapan hidup didefinisikan melatih siswa memiliki kemampuan “Hidup di Atas
Garis” atau “berkemampuan untuk menanggapi”. Kita menyadari bahwa, setiap orang
pasti mempunyai ‘masalah’ dalam kehidupannya. Oleh karena itu, siswa diarahkan
untuk menghadapi masalah hidup dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian
secara proaktif dan kreatif mencari solusi pemecahannya. Pemikiran di atas
garis berujung pada kebebasan yang lebih besar. Siswa tidak hanya berpangku
tangan dan menyerah karena kegagalan., tetapi menggunakan pengalamannya
(kecakapan hidup) untuk menggerakkan diri menuju sukses. Filosofinya, dari pada
dikendalikan keadaan, lebih baik kita menentukan tindakan kita
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Dahar, Ratna Wilis, 2001,Teori-teori
Belajar, Cetakan ke tiga, Erlangga, Jakarta
Departemen
Pendidikan Nasional, 2002, Program Pembangunan Nasional & Rencana
Strategis Pendidikan Nasional Tahun 2000-2004, Ditjen Dikdasmen, Jakarta
_________________,2002,
Pendekatan Kontekstual (Contexrual Teaching and Learning (CTL), Dit.PLP,
Ditjen Dikdasmen, Jakarta
Dryden,
Gordon & Vos, Jeannette, 2003, The Learning Revolution (Terjemahan)
Cetakan VII, Penerbit Kaifa, bandung
Goleman,
Daniel, 2003, Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi, Cetakan
V, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Meier,
Dave, 2003, The Accelerated Learning (Terjemahan), Kaifa, Bandung
Nasution
S, 2000, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Cetakan ke
tujuh, PT Bumi Aksara, Bandung
Pidarta,
Made, 2000, Landasan Kependidikan, Cetakan ke dua, PT Rineka Cipta,
Jakarta
Porter,
Bobbi de, et al, 2003, Quantum Learning, Terjemahan, Cetakan XVIII,
Kaifa, Bandung
Porter,
Bobbi de, et al, 2003, Quantum Teaching, Terjemahan, Cetakan XIII,
Kaifa, Bandung
Santoso,
AM Rukky, Right Brain, 2002, Terjemahan, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
Slavin,
Robert E, 1995, Cooperative Learning Theory, Research and Practise,
Allyn & Bacon A simon & Schuster Company, Second Edition, Singapore
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003, 2003, Lembaran Negara . Jakarta
Zamroni,
2003, Pendidikan untuk Demokrasi, Bigraf Publishing, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar